Setelah lebih dari 10 tahun sebagai pengguna Mac, mulai dari PowerBook G4, MacBook, hingga MacBook Pro, akhirnya saya memutuskan untuk bermigrasi ke dunia komputer non-Apple. Sebagai pengguna setia Mac, keputusan ini tidak mudah. Saya butuh waktu berbulan-bulan untuk mempertimbangkan dan mempersiapkan diri atas keputusan ini. Sebagai netizen, mungkin saya termasuk dalam golongan netizen yang belum siap menerima MacBook Pro baru.

Tentunya saya tak akan sembarangan memilih laptop untuk menggantikan MacBook Pro. Karena memang MacBook Pro adalah komputer yang tak biasa, maka penggantinya pun harus luar biasa. Pilihan saya jatuh ke ThinkPad X250 walau kini sudah lansiran Lenovo, tak lagi IBM seperti ThinkPad R40 dan ThinkPad X40 yang dulu saya pakai.

MacBook Pro saya sebenarnya tak terlalu usang. Lansiran 2010 dengan Core 2 Duo memang cukup senior di tahun 2017, namun dengan banyak upgrade, kinerjanya masih sangat bisa diandalkan untuk bekerja sehari-hari. Namun, ternyata kebutuhan saya sudah jauh lebih besar, sehingga terpaksa dipindahtangankan ke orang yang lebih membutuhkan.

Lalu kenapa tak lagi memilih Mac? Sebagai netizen, saya belum siap dengan MacBook Pro Touch Bar yang mahal dan tak bisa di-upgrade itu. MacBook Pro Retina juga masih relatif kurang fleksibel untuk saya. Sementara MacBook Pro Unibody keluaran paling akhir pun, sayangnya spesifikasinya lansiran 2012: cukup tua, hanya beda 2 tahun dengan MacBook Pro saya. Alhasil saya terpaksa memilih opsi lain.

Saya sempat mempertimbangkan ThinkPad X1 Carbon, namun karena kurang fleksibel dengan RAM yang disolder, terpaksa saya batalkan. X1 Carbon juga tak bisa menggunakan harddisk, sehingga untuk menggunakan penyimpanan internal berkapasitas masif (1TB ke atas), cukup menguras kantong untuk menganti SSD. Saya lebih memilih laptop yang sedikit lebih tebal dan berat namun masih bisa disisipkan harddisk kapasitas besar, daripada menggunakan laptop tipis namun harus menggunakan harddisk eksternal.

Lalu kenapa saya memilih ThinkPad? Saya punya pengalaman yang sangat baik dengan ThinkPad R40 yang menemani saya bekerja saat menjadi field engineer. Laptop ini benar-benar tahan banting secara harfiah. Didesain sebagai business notebook, ThinkPad memang seharusnya handal. Apalagi dengan sertifikasi standar militer, ThinkPad harus cukup kuat dan tahan dibanting. Bukan sekedar "tahan banting". Tak heran kalau ia menggunakan rangka magnesium. Dan walaupun ThinkPad X250 tampak berbalut casing plastik, ternyata sudah dicampur dengan serat karbon untuk memberi kekuatan yang lebih. Di semester awal perkuliahan magister, saya pun menggunakan ThinkPad X40 yang cukup bisa diandalkan: kuat, baterai tahan lama dan ringan—walau termasuk sudah tua saat itu. Memang, pengalaman saya menggunakan ThinkPad saat ia masih diproduksi oleh IBM.

Banyak yang bilang kalau ThinkPad itu terkesan tua. Desainnya tak berubah banyak sejak dua dekade lalu. Namun, untuk saya, selain karena kekokohannya, walau tampak membosankan ThinkPad tetap terlihat minimalis dan fungsional. Bahkan kalau desainnya tak banyak berubah, berarti memang desainnya sudah baik. Perubahan minim setiap tahunnya dapat dianggap sebagai evolusi. Seperti MacBook, yang secara umum desainnya tak banyak berubah bahkan sejak PowerBook G4.  It just works.

Kenapa Thinkpad X250? Dari beberapa lini ThinkPad, saya cenderung memilih seri X. Walau sempat tergiur juga dengan seri ThinkPad 13 yang lebih ekonomis. Seri X terbaru yang baru saja diluncurkan lenovo adalah X270 yang sejujurnya membuat saya tertarik. Namun memang harganya luar biasa. Saya mesti mundur beberapa langkah. X260 yang diluncurkan tahun 2016, tidak banyak berbeda dibandingkan X250, namun dari sisi harga masih memberikan margin yang patut dipertimbangkan. Ya memang X260 sudah pakai Intel generasi keenam, Skylake. Namun selisih harga bisa digunakan untuk memaksimalkan konfigurasi: RAM lebih besar, Harddisk tradisional untuk kapasitas besar, dan SSD M.2 untuk kecepatan operasional.

Alhasil, saya memilih seri X250. Sempat terpikir pula untuk mundur lebih banyak dengan X240 lansiran 2014. Toh, prosesor Intel Core generasi keempat (Haswell) pada X240 tidak terlalu signifikan dengan Broadwell pada X250. Namun hal penting yang membuat saya menghindari X240 adalah ketiadaan tombol fisik untuk TrackPoint. Tombol fisik ini penting buat saya. Bahkan pada Mac, walau saya sudah menggunakan MacBook Pro lebih dari 5 tahun, saya masih tak merasa nyaman menggunakan touchpad yang tak ada tombol fisiknya. Berbeda dengan PowerBook G4 dan MacBook hitam yang saya gunakan sebelumnya.

TrackPoint ini, yang meskipun sangat tidak populer untuk pengguna awam, namun sangat dipuja oleh pecinta ThinkPad. Di era IBM, tak ada ThinkPad yang pakai touchpad, TrackPoint adalah satu-satunya pilihan. Namun, percaya atau tidak. Setelah lebih dari 5 tahun tak menggunakan ThinkPad, dalam 3 hari pertama saya menggunakan X250 ini, saya hampir setiap saat menggunakan TrackPoint, bukan touchpad. Memang lebih nyaman karena posisi tangan tak perlu berubah dari mengetik di keyboard saat ingin memindahkan kursor dengan TrackPoint. Konon, sekali Anda betah menggunakan TrackPoint, maka tak lagi butuh touchpad.

Bicara tentang keyboard. Keyboard MacBook dan MacBook Pro sudah sangat familiar di tangan saya. Apple sangat-sangat konsisten dengan tata letak (lay out) keyboard pada produk mereka: tak berubah selama bertahun-tahun. Begitu pula dengan IBM, dan kini Lenovo. Walau dalam dekade terakhir, Lenovo melakukan perubahan pada keyboard ThinkPad X sejak X240, namun masih relatif konsisten. Semua ThinkPad memiliki keyboard yang sama bentuknya, sama enaknya. Plus, juga sudah ada backlight untuk mengetik di kegelapan, bukan lagi lampu ThinkLight seperti era IBM.

Lalu bagaimana konfigurasi pilihan saya? Karena membeli barang bekas, tentunya tak mudah memilih yang sesuai spesifikasi. Tak mungkin build-to-order. Namun saya beruntung bisa mendapatkan ThinkPad X250 dengan prosesor Intel Core i7-5600U vPro dual-core 2.6GHz (TurboBoost 3.2GHz) hyper-threading (4 threads), RAM sudah 8GB DDR3L 1600MHz, dan yang paling penting layar dengan panel IPS, walau masih resolusi 1366x768, belum Full HD 1920x1080. Sebagai anak PC, angka-angka spesifikasi ini penting. Hahahaha!

Konfigurasi awal komputer ini seharusnya menyertakan harddisk 500GB dengan SSD 16GB sebagai cache, namun unit yang saya terima harddisknya sudah diganti dengan SSD Samsung 850 EVO berkapasitas 256GB dengan SSD M.2 SanDisk 16GB. Padahal, rencananya saya ingin menerapkan kembali konfigurasi dual disk SSD-HDD seperti pada MacBook Pro, yakni dengan harddisk 1TB SATA untuk penyimpanan data dan SSD M.2 256 GB untuk sistem operasi serta aplikasi. Ya, harrdisk 1TB, supaya saya tak perlu menenteng harddisk eksternal hanya untuk penyimpanan yang masif.

Yang pasti, walau saat ini saya sudah bermigrasi dan merasa nyaman dengan ThinkPad X250 ini, bukan berarti ini adalah laptop yang sempurna untuk saya. Saya yakin, akan ada beberapa hal dari MacBook Pro yang akan saya rindukan. Mungkin akan saya tuliskan di artikel terpisah. Ya, mungkin banyak kisah indah yang menceritakan orang yang bermigrasi dari dunia PC (atau dunia Windows) ke dunia Apple Mac. Namun, kali ini kisah dari saya adalah sebaliknya. Sesuai slogan dari Apple, Think Different, maka kali ini saya akan berpikir dengan berbeda: Think Differently.