Beberapa waktu yang lalu (11/08) saya beserta beberapa blogger dan aktivis media sosial (social media) dari Jakarta dan sekitarnya diundang oleh Putera Sampoerna Foundation (PSF) untuk berkunjung ke SMA Sampoerna Academy Bogor campus. Rasanya wow banget berada di tengah-tengah 355 siswa-siswi berprestasi yang tentunya belia dan unyu-unyu bersemangat. Seolah-olah ingin membentuk grup idola BGR48.
Dan, ya. Tentunya saya langsung merasa tua.
Perlu diingat bahwa siswa-siswi ini bukanlah anak-anak biasa. Tentunya mereka adalah anak-anak yang terpilih karena memiliki bakal dan intelijensia di atas rata-rata anak lainnya. Bayangkan, sekolah selama 3 tahun gratis. Tidak hanya biaya pendidikan, tetapi termasuk akomodasi dan konsumsi. Mereka tinggal di dalam kompleks sekolah. Belajar, bikin pe-er, tidur, makan, bermain, dan aktivitas lainnnya dilakukan di sana. Mirip dengan sekolahnya Harry Potter. Bahkan, antar siswa "dipecah-belah" ke dalam 9 kelompok (house), tentunya selain membentuk kerjasama tim (teamwork), juga diharapkan adanya kompetisi yang positif di antara mereka.
Balanced education. Sains dan hard skill yang dilengkapi dengan kepemimpinan, kemampuan bersosialisasi, berdiskusi, dan life skill.
Oke, jadi ngapain sih sebenernya para blogger itu mampir?
Rombongan blogger ini direncanakan akan berbagi tentang kehidupan digital di ranah blog dan media sosial. Simbok Venus sebagai blogger yang tua senior didapuk di depan kelas untuk berbagi cerita dan pengalamannya dari mulai pertama kali ngeblog, berkecimpung di media sosial, hingga perjalanannya ke luar negeri sebagai perwakilan blogger dari Indonesia. Menarik!
Lalu, apa sebenarnya manfaat yang bisa diambil dari blog dan media sosial untuk para siswa-siswi sekolah menengah di Indonesia?
Terlalu gegabah kalau kita mengajarkan media sosial secara profesional kepada anak-anak belia ini. Toh, masih butuh sekitar 5 tahun lagi bagi mereka untuk menginjak usia profesional. Siapa yang bisa menjamin bahwa twitter, facebook, atau apapun platform media sosial yang ada saat ini masih "produktif" 5 tahun lagi?
Jadi, yang perlu ditanamkan bukanlah soal platform.
Yang utama adalah kemampuan dan kemauan menulis. Ya, ngeblog, ngetwit, dsb. itu kan tak lepas dari "menulis". Merangkai kata, menyusun ide, untuk menyampaikan informasi ataupun gagasan. Ingat peraturan baru tentang kewajiban membuat publikasi ilmiah sebagai syarat kelulusan di perguruan tinggi? Salah satu penyebabnya adalah minimnya jumlah publikasi ilmiah di negara kita ini. Termasuk dokumentasi. Jadi, kemampuan menulis memang sangat perlu. Termasuk kemampuan berbahasa dengan baik dan benar, baik untuk Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, serta bahasa asing lainnya.
Social media, tentunya tak lepas dari unsur sosial. Kemampuan berkomunikasi serta bersosialisasi dengan lingkungan sekolah, kerja, dan sekitarnya, memiliki peran penting dalam membentuk kepribadian dan membangun kompetensi para calon pejuang bangsa ini. Karena kemampuan inti (core competency) saja tidak cukup. Butuh kemampuan sosial yang baik untuk menyempurnakannya. Walaupun mereka "dikarantina" dengan sesama anak-anak Indonesia, tapi dengan penggunaan Bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari dan juga dengan bantuan teknologi, berinteraksi dengan warga dunia memang tak lagi sulit dilakukan. Selangkah untuk menjadi "warga dunia", di mana tak ada lagi batasan yang disebut dengan "negara".
Unsur yang membedakan antar media konvensional dan media sosial adalah teknologi informasi dan digital. Ah, untuk anak muda jaman sekarang, saya yakin sebagian besar paham dengan dunia digital. Mereka adalah digital natives. Pemahaman teknologi informasi digital ini tentunya perlu untuk mereka pahami. Kalau sekarang dunia digital sudah merasuki hampir setiap sendi kehidupan, bagaimana untuk di masa depan?
Digital entrepreneurship. Ini yang sedang marak akhir-akhir ini. Bahkan para eksekutif perusahaan pun tetap perlu jiwa wirausaha ini: intrapreneurship. Memang mungkin belum saatnya mereka terjun di dunia wirausaha digital dalam usia yang belia. Namun, jiwa wirausaha ini harus ditumbuhkan sejak dini. Membuat rencana bisnis (business plan) mungkin bisa dilakukan dengan cepat, tapi membangun jiwa wirausaha butuh waktu yang tak singkat juga. Tapi jangan sampai membuat mereka asik dengan "perusahaannya" hingga melupakan pendidikan formalnya.
Kredit foto: Anggun Adi Prasetya.