Urbanathlon, sebuah acara tahunan yang digelar oleh Mens' Health, kali ini diadakan di Indonesia. Bertajuk Urbanathlon Jakarta 2011, lomba lari plus-plus ini diadakan di seputaran Jalan Jend. Sudirman pada hari Minggu, 24 April 2011. Sebagai pelari perwakilan GLTD dan atlet parkour gagal, tentu saja saya dengan antusiasme tinggi mendaftar menjadi peserta. Teman-teman dari Indo Runners juga tentunya tak akan melewatkan lomba yang menarik ini, karena selain rute sepanjang 8 KM juga ada 6 rintangan yang menantang.
Biaya pendaftaran sebesar Rp.150.000,- bisa dibilang cukup mahal padahal sudah mendapat dukungan sponsor. Untuk tempat pun saya rasa tidak terlalu membebani karena memanfaatkan car-free-day (CFD). Namun jika dibuat murah juga mungkin bisa merusak segmentasi pasar. Peserta mendapatkan goodie-bag (atau lebih tepatnya race-kit) beberapa hari sebelum lomba berisi nomor dada, kaos Urbanathlon Jakarta 2011, serta produk sponsor berupa sabun wajah dan celana dalam. Tapi, karena lomba ini tidak eksklusif untuk pria, maka tidak sedikit juga perempuan yang ikut berlomba. Apakah mereka juga mendapat produk sponsor berupa celana dalam pria?
Ternyata pesertanya cukup banyak. Uniknya, tidak seperti lomba lari biasanya, pada Urbanathlon Jakarta 2011 ini, start tidak dilakukan secara serentak oleh semua peserta, melainkan bertahap sebanyak 50 peserta tiap "kloter". Ini lumayan membantu para pelari untuk lebih tertib saat start, dan juga mungkin bisa menolong untuk peserta yang punya "jam karet".
Menurut pantauan saya, secara umum peserta ini dapat dipisahkan menjadi tiga kategori: Pertama, para pria kekar nan hobi bercermin dari gym dan pusat kebugaran. Ini yang badannya kekar dan bikin saya yang berperut cembung ini minder; Kedua, para tukang parkir atlet parkour. Mereka mungkin berpenampilan biasa saja, tetapi jangan meremehkan kekuatan fisik dan kemampuan akrobatiknya; Ketiga, para pelari umum. Sebagian mungkin sudah terbiasa dengan lari marathon, tetapi belum tentu siap dengan rintangan.
Start dilakukan di Plaza Selatan Gelora Bung Karno (GBK), yang langsung berbelok ke kiri mengarah ke Jembatan Semanggi. Cuaca pagi yang sejuk dan awan mendung yang menahan sinar matahari terasa sangat bersahabat sekali. Sesampainya di Jembatan Semanggi, rintangan (obstacle) pertama sudah siap menghadang, yakni pembatas jalan (road barrier). Ah, tinggal dilompati saja, gampang. Eh, tapi setelah 3 kali lompat, ternyata capek juga ya?
Dan, sesuai perkiraan hujan gerimis pun mulai turun. Alangkah senangnya saya karena para pesepeda berbondong-bondong mengevakuasi diri sehingga jalanan menjadi lebih "lengang". Sehingga para pelari Urbanathlon tidak perlu "berebut lahan" dengan para pesepeda yang semakin hari semakin menguasai CFD. Saya sengaja untuk tidak menggunakan kaos "seragam" Urbanathlon karena berbahan katun yang menyerap keringat (dan air hujan) yang nantinya akan terasa berat. Selain itu warna biru tua terlihat kurang mencolok jika dipakai saat berlomba. Karena itu saya lebih memilih memakai kaos yang berwarna terang untuk meningkatkan keamanan di jalan raya mengingat para peserta harus berbagi jalan dengan penikmat CFD yang lain karena jalanan tidak "steril".
Sesampainya di seberang Chase Plaza, peserta harus menyeberang jalan menggunakan jembatan penyeberangan. Saya memutuskan untuk tidak berlari di jembatan penyeberangan karena saya tidak merasa "aman dan nyaman" berlari di jembatan seperti itu mengingat ada beberapa jembatan di lokasi lain yang bordesnya jebol. Sampailah saya di Chase Plaza, dan rintangan "tidak resmi"-nya adalah menaiki gedung menggunakan tangga sebanyak tujuh lantai. Ya, tujuh lantai, dan tidak dihitung sebagai rintangan! Hahaha.
Dengan kaki yang cukup pegal, sampailah saya di rooftop gedung parkiran Chase Plaza yang sudah disediakan rintangan kedua: monkey bar. Karena saya adalah pelari yang bukan keturunan monyet, maka saya pun gagal setelah 3 kali mencoba. Saya rutin berlari melatih kekuatan kaki, tapi tidak pernah melatih kekuatan tangan saya. Mungkin saya memang perlu melatih bagian tubuh selain kaki. Setelah itu, turun melalui jalur mobil yang landai sampai di lantai dasar lagi dan melanjutkan ke rintangan ketiga: merayap sambil tiarap seperti latihan militer (saya tidak tahu namanya apa, hahaha).
Beres urusan merayap, kembali mengarah ke Jembatan Semanggi. Di sisi lain Jembatan Semanggi, sudah menunggu puluhan ban sebagai rintangan keempat: tire rocky road. Rintangan ini tampak mudah dan memang tidak sulit. Namun karena sedikit kecerobohan, kaki saya terkilir pada langkah pertama. Sehingga saya harus melewati rintangan ini dengan berjalan pelan-pelan. Dan sepanjang 1 KM setelah rintangan tersebut saya hanya berjalan kaki.
Dari Jembatan Semanggi, tidak ada rintangan sampai para peserta sampai di Plaza Selatan GBK kembali. Tentunya para peserta mesti berputar terlebih dahulu di bundaran di dekat Ratu Plaza. Sebelum finish, ada 2 rintangan yang menunggu: papan titian (balance bar) dan panjat dinding (wall of fame). Papan titian mungkin adalah yang paling gampang dilewati jika kondisi tubuh masih fit. Tetapi setelah melintasi jalanan lebih dari 7 KM dan 4 rintangan? Tidak semua orang masih fit. Rintangan terakhir mungkin yang paling terlihat menantang. Tidak sedikit peserta yang dibantu oleh rekan tim ataupun oleh panitia untuk memanjat dinding ini. Namun, saya mendapatkan trik dari panitia, yakni dengan melepas sepatu sehingga dapat memanjat tali yang bersimpul dengan kaki. Walaupun akhirnya setelah saya melewati dinding ini, saya berlari menuju garis finish sambil menenteng sepatu. Hahahaha...
Dan ini membuktikan bahwa Anda tidak perlu berperut six-pack untuk menjadi finisher Urbanathlon Jakarta 2011. Setiap peserta yang berhasil menyelesaikan lomba pun mendapat medali "Finisher".
Jadi, sebenarnya lomba ini tidak seseram kelihatannya. Sebelumnya panitia mengumumkan kalau lomba ini akan melibatkan air, yang pada kenyataannya selain air hujan, air minum, dan air keringat tidak ada rintangan yang melibatkan air. Padahal saya sudah bela-belain gak pake iPod karena panitia menyarankan untuk tidak membawa alat elektronik.
Untuk acara berikutnya, panitia mungkin perlu mempertimbangkan bahan kaos yang tidak menyerap air jika memang ingin melibatkan air dalam rintangannya. Selain itu, masukan lainnya adalah untuk nomor dada peserta. Lebih baik untuk menggunakan peniti, bukan menggunakan stiker yang bisa jadi tidak menempel kalau basah. Untuk rute mungkin bisa lebih disterilkan lagi, karena saya sebagai pelari cukup terganggu ketika "dikerubungi" oleh para pesepeda sehingga membatasi ruang gerak saat berlomba. Hal sederhana lain namun bermanfaat adalah meletakkan penunjuk waktu (clock) di garis finish, sehingga peserta dapat melihat catatan waktunya.
Mudah-mudahan tahun depan Femina Group dan Men's Health Indonesia mau mengadakannya dengan lebih baik lagi. Sampai jumpa di Urbanathlon Jakarta 2012!
Adham Somantrie
— Lifestyle runner, the runner that live for style.