Banyak orang yang menanti datangnya bulan suci ini. Apalagi di Indonesia, tentunya, sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia — tapi bukanlah negara Islam, catat!

Yang biasa paling ramai adalah aturan bagi rumah (atau warung) makan untuk tutup (atau tertutup) selama bulan puasa. Jika tempat makan saja menjadi korban aturan ini, apalagi tempat hiburan. Alasan klise-nya adalah untuk menghormati bulan suci. Baiklah, tetapi kan bukan berarti ini menjadi pembenaran untuk "tempat hiburan" melakukan praktek di luar bulan suci.

Namun untuk kasus rumah makan, yang mana sebenarnya tidak ada masalah dengan hukum, karena makan itu bukanlah perbuatan yang dilarang (kecuali bagi mereka yang berpuasa ataupun di tempat-tempat tertentu seperti ruang rapat). Saya rasa tidak perlu terlalu naif untuk melarang rumah makan untuk beroperasi. Justru dengan adanya rumah makan yang beroperasi selama siang hari di bulan suci, orang yang berpuasa akan lebih merasakan tantangan dalam ibadahnya.

Di samping itu, jika rumah makan ditutup, untuk yang tidak berpuasa (orang tua renta, wanita yang sedang berhalangan, ataupun warga non-muslim) tentunya akan kesulitan untuk mencari makanan. Hal ini perlu dipertimbangkan.

Mungkin solusinya adalah dengan menutup tempat tersebut agar aktivitas makan-minum tidak terlihat dari luar. Bukan menutup usahanya, sehingga usahanya masih tetap berjalan. Atau seperti beberapa rumah makan yang tidak melayani "makan di tempat" selama warga sedang berpuasa. Sehingga orang tetap dapat membeli makanan dan makan di rumahnya masing-masing.

Selain itu, juga ada fenomena "gelonggong massal" di kalangan plurker. Mengambil kasus sapi gelonggong yang terjadi musiman di Indonesia, banyak orang yang melakukan praktek serupa di saat sahur dengan mengkonsumsi air sebanyak mungkin sesaat sebelum imsak tiba. Tentunya, dengan harapan suplai air di dalam tubuh akan meningkat sehingga tidak akan mengalami dehidrasi saat berpuasa.

Tapi apa yang terjadi? saya sebagai salah satu oknum pelaku gelonggong ini sebenarnya tidak merasakan manfat yang berarti. Bahkan, mitos soal pencegahan dehidrasi itu tidak terbukti. Karena di pagi harinya, air gelonggongan itu akan dibuang. Percuma!

Bukan soal aktivitas "penggelonggongan diri secara massal" ini yang unik. Melainkan istilah "gelonggong" itu sendiri. Karena jika merujuk ke KBBI, kata gelonggong itu sendiri memiliki makna "berlubang-lubang seperti nyiur yang digerek tupai". Nah, apa hubungannya?

Apakah Anda mendapati fenomena-fenomena unik lainnya selama bulan puasa?

Adham Somantrie.