Ada beragam alasan dan motivasi para pelari untuk mengikuti lomba lari. Mulai dari sekedar untuk berolahraga, mencari pengalaman berlomba, mencari hadiah, mengejar prestasi, bahkan hanya sekedar untuk mendapatkan medali. Dengan semakin popularnya olahraga lari, tak heran jika lomba lari pun semakin marak di Indonesia.

Bagi para pelari rekreasional atau athleisure, umumnya yang dicari dari lomba lari adalah pengalaman berlombanya. Termasuk untuk mendapatkan paket lomba (racepack), menikmati rute lomba lari, mendapatkan medali, hingga untuk mendapatkan foto-foto diri saat berlari.

Beberapa penyelenggara lomba lari sudah menangani serius perihal dokumentasi foto ini. Mereka mempersiapkan tim fotografer, bahkan videografer, untuk mengabadikan momen-momen semua peserta saat berlomba, tak hanya para pemenang saja. Foto-foto ini tersedia di situs lomba, bahkan di hari perlombaan jeda beberapa jam saja setelah lomba berakhir.

Beberapa penyelenggara pun sudah menyediakan sistem khusus atau bekerjasama dengan tim dokumentasi profesional untuk memudahkan peserta mencari foto mereka di antara ribuan foto yang ada. Cukup dengan memasukkan nomor dada, maka semua foto yang ada pelari tersebut akan muncul.

Berdasarkan pengalaman saya di Singapore Marathon 2011 dan 2012 silam, layanan seperti Marathon Photos, menyediakan foto-foto dari berbagai lomba yang dapat dicari hanya dengan memilih lomba dan memasukkan nomor dada. Memang, foto yang disediakan memiliki resolusi rendah dan diberi watermark. Untuk mendapatkan foto resolusi tinggi, Anda harus membayar. Model bisnisnya memang seperti itu untuk membiayai operasional tim fotografer.

Namun, model bisnis ini sepertinya kurang pas untuk pasar Indonesia. Selain menyediakan foto dari tim “internal” penyelenggara, mitra fotografer yang cukup populer adalah Pic2Go. Alih-alih membebankan biaya operasional ke peserta, Pic2Go membebankan biaya tersebut ke penyelenggara — yang nantinya bisa dibebankan ke biaya registrasi oleh penyelenggara. Namun, pengalaman dari sisi peserta lebih baik, tidak perlu ada biaya tambahan di luar biaya registrasi.

Selain layanan fotografer profesional, penyelenggara juga biasa bermitra dengan rekan media (media partner) ataupun komunitas (community partner) untuk dokumentasi acara. Dengan kerjasama resmi, rekan media dan komunitas diberikan akses yang leluasa untuk mendokumentasikan lomba dan mempublikasikan foto-foto mereka. Model bisnisnya macam-macam, ada yang bersifat komersial (didanai oleh penyelenggara) ataupun memang murni kerjasama (manfaat mutualisme).

Kedua model ini cukup populer di Indonesia dan sudah dikenal akrab oleh para peserta lomba lari. Terkadang, jika ada lomba yang tidak punya foto dokumentasi seperti ini, justru dipertanyakan oleh para pelari.

Nah, ada model bisnis lain lagi, yakni fotografer pihak ketiga yang tidak resmi — dalam artian tidak bekerjasama secara resmi dengan pihak penyelenggara lomba. Umumnya layanan seperti ini dilakukan oleh fotografer perorangan, baik secara komersial maupun tidak komersial.

Untuk fotografer tidak resmi yang non-komersial, biasanya dilakukan oleh fotografer pehobi, komunitas, ataupun fotografer profesional dalam rangka membangun portofolio. Hal ini pun sudah umum dilakukan di Indonesia. Tentunya, pihak fotografer berkesempatan untuk mendapatkan exposure yang cukup tinggi dari para peserta.

Namun, ada pula fotografer tidak resmi yang komersial. Mirip dengan model bisnis Marathon Photos, foto akan diberikan dalam resolusi rendah dengan watermark. Untuk pelari yang berminat, dapat “menebus” foto tersebut dengan sejumlah biaya sebagai ganti “ongkos foto”. Ya, mirip semacam jasa tukang foto saat wisuda gitu deh.

Mungkin bagi beberapa pelari, membayar foto ini cukup memberatkan, karena sudah terbiasa untuk mendapatkan foto secara gratis — yang dibiayai oleh penyelenggara lomba. Namun, perlu dipahami juga bahwa fotografer ini telah meluangkan waktunya untuk memotret, mempersiapkan seperangkat fotografi sebagai modal usaha, dan juga melakukan proses pengolahan foto (yang jumlahnya tentu tidak sedikit). Ada usaha dan modal dari fotografer yang mesti diapresiasi. Jadi, sudah sewajarnya jika foto-foto yang indah dan keren itu mesti dibeli: ada biaya materil dan non-materil dalam pembuatannya.

Lalu, bagaimana hukum kepemilikan foto terkait jual-beli foto ini?

Catatan: Saya bukan seorang ahli hukum, jadi mungkin tidak sepenuhnya pandangan saya ini benar.

Oke, sebelum lanjut, dari pemaparan di atas bisa kita kategorikan jenis-jenis fotografernya sbb:

  1. Fotografer dari panitia, diberikan gratis.
  2. Fotografer rekanan panitia, diberikan gratis. Contohnya: Pic2Go.
  3. Fotografer rekanan panitia, berbayar untuk dapat fotonya. Contohnya: Marathon Photos.
  4. Fotografer lepas (pihak ketiga), diberikan gratis. Biasanya fotografer komunitas, atau fotografer perorangan amatir maupun profesional.
  5. Fotografer lepas (pihak ketiga), berbayar untuk dapat fotonya. Umumnya fotografer perorangan profesional.

Dalam sebuah foto, hak (rights) itu bisa dimiliki beberapa pihak. Yang pertama tentu saja hak si fotografernya. Untuk fotografer dari panitia (kategori 1) dan juga rekanan panitia (kategori 2 dan 3), biasanya memang sudah ada perjanjian kerjasama antara panitia dan fotografer. Sehingga panitia dapat menggunakan foto-foto dari fotografer tanpa masalah. Begitu pula untuk fotografer lepas (kategori 4 dan 5), karena diproduksi oleh mereka sendiri, maka mereka dapat menggunakan foto-foto jepretan mereka sendiri tanpa masalah, entah itu mau dibagikan gratis, atau dijual.

Lalu, karena ini adalah merupakan acara (event) perlombaan, maka panitia juga punya hak atas foto-foto yang diambil sepanjang acara ini. Fotografer internal (1) dan rekanan (2&3) sudah pasti mendapat izin dari panitia. Tentunya tak jadi masalah. Namun untuk fotografer lepas, tentunya tak ada perjanjian atau izin untuk memotret di dalam kawasan lomba. Hal ini cukup abu-abu jika ternyata lomba dilakukan di ruang publik: semua orang bebas untuk memotret.

Pihak ketiga yang juga memiliki hak atas sebuah foto adalah orang yang difoto (talent atau model). Jadi, sebenarnya para peserta itu sebenarnya punya hak atas foto lomba lari. Sejatinya, dibutuhkan izin (talent release) dari orang yang difoto untuk mempublikasikan sebuah foto, apalagi untuk kebutuhan komersial. Umumnya, dalam syarat dan ketentuan lomba, panitia mewajibkan peserta untuk memberikan hak ini saat mendaftar. Alhasil, secara hukum, panitia beserta jajaran fotografer resminya (baik itu kategori 1, 2, dan 3) dapat menggunakan foto-foto tersebut untuk keperluan terkait lomba, termasuk keperluan komersial.

Lalu bagaimana untuk fotografer lepas (kategori 4 dan 5) yang tidak terafiliasi dengan panitia lomba, dan belum meminta izin dari orang yang difoto? Kalau untuk keperluan non komersial, mungkin masih bisa dimaafkan. Apalagi, umumnya yang akan menggunakan atau mengunduh foto tersebut ya pelari yang difoto. Namun bagaimana kalau hal ini dikomersialkan? Di luar "biaya produksi" yang mesti ditanggung oleh fotografer lepas ini, ada beberapa hal yang tidak jelas: apakah mereka diberi izin oleh panitia lomba untuk melakukan pemotretan di area lomba? apakah orang yang difoto sudah memberikan izin untuk difoto?

Ada yang punya pandangan lain?