Setahun yang lalu, akhirnya saya membeli sepeda. Sebuah entry level roadbike, Specialized Allez E5 Elite 2017. Tak terlalu baru, karena sebelumnya ini adalah tunggangan Arantan. Allodya, nama yang saya berikan untuk Allez berbahan alloy ini. 

Sejatinya, bersepeda bukanlah hal baru untuk saya. Sejak SD hingga SMP saya setiap hari bersepeda. Sepeda menjadi alat transportasi untuk bersekolah, dan juga saat bermain dengan teman-teman.

Lebih 20 tahun lalu, saya sudah menggunakan roadbike. Sehingga dropbar bukanlah hal aneh buat saya. Bisa dibilang, saat itu hanya saya yang menggunakan dropbar (roadbike), sementara teman-teman saya cukup trendy dengan sepeda flatbar Federal yang populer saat itu.

Saya tidak terlalu ingat, dan waktu itu tak mengerti juga. Yang pasti, sepeda saya saat itu bukan roadbike berukuran standar, tidak menggunakan ban 700c. Ukurannya lebih kecil, mungkin ukuran junior 540c atau 24”. Sampai pada suatu ketika, ban sepeda saya sudah tipis hingga tidak bisa digunakan lagi. Orang tua saya sudah berkeliling kota untuk mencarinya, namun tidak bisa ditemukan toko yang menjual ban dengan ukuran itu. Dan pastinya, saat itu belum ada online shop. Itulah yang menjadi penutup cerita bersepeda saya di usia remaja.

Jadi, saat ini bukanlah kali pertama saya mengendarai sepeda, apalagi roadbike. Ini adalah babak kedua cerita bersepeda saya.

Wajar jika banyak teman-teman yang berspekulasi bahwa saya akan terjun ke dunia triathlon. Namun tampaknya belum untuk waktu dekat. Selain butuh yang intensif dan disiplin, alasan utamanya adalah karena saya memang belum bisa berenang. Hahaha.

Akan tetapi, bagaimana dengan duathlon? Duathlon adalah hal yang lebih masuk akal. Sehingga, di akhir tahun 2017 dan awal 2018 saya mempersiapkan diri untuk duathlon pertama saya, yakni Powerman Indonesia 2018 di Alam Sutera pada bulan April lalu. Hanya kategori Short Distance saja: Lari 5K, Sepeda 30K, Lari 5K. Karena memang beberapa tahun belakangan ini saya hanya berlatih (berlari) untuk jarak pendek saja. Kalau dihitung-hitung, Powerman Short Distance ini kurang lebih setara dengan lari half marathon.

Dalam setahun ini, berdasarkan data yang dicatat oleh Strava, saya sudah bersepeda sejauh 1.653 km bersama Allodya. Tak jauh memang. Hampir keseluruhannya adalah di Jakarta. Hanya dua kali saja saya bersepeda di luar Jakarta, yakni saat Powerman dan sekali bergabung dengan teman-teman Roadbike Depok. Sebagian lagi, bersepeda di rumah dengan trainer Tacx Flow Smart. Ya, terkadang cuaca kurang bersahabat, atau waktu yang terbatas. Sehingga indoor ride menjadi alternatif menarik untuk tetap bisa berolahraga, misalnya saat siang bolong, atau di malam hari terutama di bulan Ramadhan.

Kembali ke Allodya. Allez merupakan sepeda berbahan alloy yang ditawarkan Specialized untuk pemula. Versi lebih mahalnya adalah Tarmac, yang dibangun dengan serat karbon. Untungnya Allez E5 Elite sudah menggunakan frame Alumunium E5 yang cukup baik serta telah dilengkapi dengan groupset Tiagra. Untuk saya, groupset Tiagra sudah cukup memadai. Walau Tiagra belum dikategorikan sebagai race-ready seperti halnya 105 dan Ultegra, namun secara teknis sudah cukup untuk pesepeda amatir seperti saya. Untuk saat ini pun saya tidak merasa perlu melakukan upgrade groupset. Mungkin investasi berikutnya lebih ke arah wheelset.

Review Specialized Allez E5 Elite (2017) versi Arantan bisa ditonton di YouTube channel beliau.

Hanya saja, karena kurangnya pengetahuan mengenai geometri, ternyata fitting-nya kurang pas. Karena tubuh saya yang kurang proporsional, kaki saya relatif lebih pendek dibandingkan torso, saya harus melakukan sedikit perubahan. Saya menggunakan frame ukuran XS/49cm, yang kalau dilihat untuk ukuran kaki saya sudah cukup. Bahkan mungkin sedikit kebesaran jika berpatokan pada ketinggian standover. Namun, karena torso saya yang relatif lebih panjang, maka area kokpit menjadi kurang pas. Awalnya saya pikir karena geometrinya yang cukup agresif, sehingga menjadi kurang ergonomis: punggung terasa pegal setelah bersepeda lama. Ternyata, memang fitting-nya tidak pas.

Akhirnya saya pun mengganti stem Specialized 80mm dengan Zipp Service Course 110mm. Kini, menunggangi Allodya untuk waktu lama pun tak lagi menjadi beban bagi punggung saya. Mungkin bagi sebagian orang, penyesuaian stem dari 80mm ke 110mm (30mm) adalah tidak wajar. Lebih dianggap karena ukuran frame yang tidak pas. Namun kembali lagi ke ukuran badan saya yang kurang proporsional, maka ukuran frame dan stem saya pun jadi tidak "normal" pula.

Bagi pesepeda kompetitif, mungkin penggunakan bahan alumunium dianggap inferior karena kurang kaku dan bobotnya yang lebih berat dibandingkan dengan serat karbon. Namun, untuk saat ini, sebagai pesepeda rekreasional saya terpuaskan dengan sepeda alloy. Selain dari sisi harga, untuk perawatannya pun cenderung lebih mudah. Tak seperti sepeda carbon yang wajib menggunakan kunci momen (torque-wrench) setiap melakukan ubahan, sepeda alloy cenderung lebih toleran. Begitu pula ketika menghantam lubang atau jalanan yang buruk.

Tapi entahlah untuk masa mendatang. Mungkin saya bisa saja berubah pikiran dan beralih ke frame karbon. Wheelset dulu kali ya?