Mungkin masih banyak yang belum tahu kalau posisi drummer di band Dream Theater kini sudah disi oleh Mike Mangini, bukan lagi Mike Portnoy seperti beberapa dekade lalu. Mungkin juga banyak yang merasa heran, ini wajar karena porsi Mike Portnoy termasuk yang cukup dominan. Apalagi beliau acapkali menjadi produser dari musik-musik Dream Theater. Singkat cerita, dunia sudah berubah, Dream Theater beranjak maju dan terus berkarya dengan formasi barunya bersama Mike Mangini.

Padahal, pergantian personil pada Dream Theater bukan hal yang baru. Banyak personilnya yang bergantian, seperti halnya Jordan Rudess, atau bahkan James LaBrie sendiri bukanlah vokalis sejak awal berdirinya Majesty. Mungkin karena Mike Portnoy termasuk salah satu pendiri Majesty, dan proses kepergiannya penuh drama jika tidak ingin dibilang kontroversi. Saat ini kubu penggemar Dream Theater pun terpecah menjadi dua: pendukung Mike Portnoy dan pendukung Mike Mangini.

Tentunya, di dunia seni, tak ada seniman yang punya karakteristik yang sama. Masing-masing punya aliran yang berbeda. Untuk itu, saya mencoba untuk membandingkannya langsung dengan mendengarkan dua konser yang masing-masing dilengkapi oleh Mike Portnoy dan juga oleh Mike Mangini. Lagu apa yang saya pilih? Tak lain dan tak bukan, album favorit saya, yang merupakan masterpiece Dream Theater, yakni Metropolis Part 2: Scenes From a Memory.

Saya mencoba membandingkan antara album konser Metropolis 2000: Live Scenes from New York sebagai materi perwakilan Mike Portnoy, dan album konser Breaking the Fourth Wall: Live from the Boston Opera House sebagai materi perwakilan Mike Mangini. Sayangnya, di album Breaking the Fourth Wall hanya berisikan 4 lagu saja: Overture 1928, Strange Deja Vu, The Dance of Eternity, dan Finally Free. Tapi tak masalah, empat lagu ini termasuk bagian terbaik yang mewakili "Scenes from a Memory", terutama Finally Free. Walau tentunya, sebagai album dengan konsep yang matang, materi-materi dari album Scenes from a Memory adalah satu kesatuan yang saling terkait dan tak bisa berdiri sendiri.

Masing-masing album konser punya pro dan kontra bagi Mike Portnoy dan Mike Mangini. Album Scenes from a Memory ini ditulis dan diproduseri oleh Mike Portnoy, tentunya ia sangat paham luar dalam materinya. Namun, karena konser ini hanya terpaut satu tahun dari album studio dan dalam rangka promosi album, Mike Portnoy tentunya akan bermain "by the book" dengan minim improvisasi. Selain itu, pengelolaan suara rekaman di album ini tentu saja kalah modern karena diproduksi pada tahun 2000.

Sebaliknya, Mike Mangini, secara tidak langsung harus mempelajari musik yang bukan ditulisnya sendiri, tak akan mudah untuk melakukan ubahan dalam musik yang kompleks seperti Scenes from a Memory. Apalagi, materi ini sudah sangat melekat di benak para penggemar. Namun, Mike Mangini mendapatkan keuntungan dengan sound yang lebih modern, 14 tahun lebih maju dari konser aslinya. Terpaut 15 tahun sejak album studio diluncurkan, improvisasi pun bisa dilakukan dengan lebih bebas tanpa harus "merujuk pada not balok aslinya".

Setelah mendengarkan keduanya secara bergantian, tentunya saya dapat merasakan perbedannya lebih baik lagi, selain perbedaan ketukan, karakter suara drum-nya juga berbeda. Saya sengaja hanya mendengarkan rekaman konsernya, bukan menonton video konsernya. Kenapa? Karena karakter Mike Portnoy lebih menghibur secara visual dan cukup dominan di atas panggung, tak seperti Mike Mangini yang lebih cenderung dingin di atas panggung, jadi tak seimbang. Pada akhirnya, karya seni termasuk musik adalah diciptakan untuk dinikmati, bukan untuk diperdebatkan. Lalu, siapakah drummer yang lebih saya sukai? Buat saya, drummer Dream Theater adalah Mike.