Tak bisa dipungkiri lagi, gaya hidup digital sudah mengakar dalam kehidupan modern. Hampir sepanjang kita membuka mata, internet ada di sisi kita. Lebih dari sekedar ponsel cerdas (smartphone), kini bermunculan gawai (gadget) yang lebih wearable yang mengakibatkan kita semakin tak lepas dari internet. Toh, sebelum makan kita tak lupa untuk memotret makanan kita, seperti halnya berdoa.

Seberapa burukkah penetrasi internet dalam mempengaruhi kehidupan kita?

Dengan derasnya laju informasi dan intensitas kita dalam menerjangnya, tentunya berpengaruh secara psikologis. Seperti yang ditulis oleh detikHealth, ada masalah psikologis baru yang muncul: fear of missing out, FoMO.

Fenomena ini adalah munculnya ketakutan ketika menyadari bahwa kita tertinggal informasi. Misalnya, ketika kita baru saja terhubung ke jejaring sosial dan menemukan teman-teman kita sedang asik membicarakan suatu hal. Nah, kita akan merasa "ketinggalan berita". Hal seperti ini memang bukan hal yang baru, bahkan sebelum era internet. Namun dengan kecepatan informasi yang demikian hebatnya di era internet, tak gampang untuk "mengikuti" segala perkembangan informasi yang sedang ngetren. Tapi kalau sampai merasa sedih (atau tertekan) hanya karena tidak bisa mengikuti (atau tidak mengerti) perbincangan tersebut, ini adalah FoMO.

Orang-orang dengan kadar FoMO tinggi, tentu akan terus berusaha "mengejar ketertinggalan" dengan meningkatkan intensitasnya dalam terhubung dengan internet. Internet sudah menjadi candu. Kecanduan informasi aktual. Kecanduan social media.

Dengan menigkatnya intensitas dalam "berinternet" dapat mempengaruhi sisi produktivitas dan sosial di dunia nyata. Ketika ketergantungan internet sudah memberikan dampak buruk bagi psikologis dan sosial seseorang, maka internet sudah menjadi racun. Keracunan internet.

Kini, tak sedikit orang yang resah kalau tidak memeriksa ponsel cerdasnya dalam setiap beberapa menit. Banyak yang gelisah ketika gadget-nya tertinggal saat keluar rumah. Banyak pula yang mati gaya ketika tidak terhubung dengan internet.

Saat ini bahkan sudah ada perusaah yang serius menawarkan jasa pembuangan "racun internet" (detoxification) untuk orang-orang yang "keracunan internet". Misalnya Camp Grounded dari Digital Detox seperti yang dilansir oleh Mashable. Seperti halnya kemping, akan banyak aktivitas "tradisional" agar orang-orang dapat lebih "segar" dengan meninggalkan rutinitas harian: mulai dari pekerjaan, hingga teknologi dan internet.

Tapi apakah benar hidup kita akan lebih baik dan berkualitas ketika berhasil melepaskan ketergantungan pada internet dan dunia digital? Yang paling penting, apakah memang ketergantungan ini menurunkan produktivitas kita? Bukankah teknologi digital itu diciptakan untuk meningkatkan kualitas hidup, termasuk produktivitas. Dan, membuat kita lebih bahagia?

Tentunya hidup yang lebih baik itu adalah hidup yang seimbang. Dengan adanya dunia digital seperti saat ini, batasan-batasan menjadi kabur. Karena memang dunia digital adalah dunia tanpa batas. Internet kini bisa diakses kapan saja dan di mana saja. Dan ketika pekerjaan sudah mulai bergantung pada internet. Maka, ketika Anda terhubung dengan internet, Anda akan "terhubung" dengan pekerjaan.

Kurang piknik. Idiom yang tak asing untuk orang-orang yang stress karena hidup yang tak berimbang.

Tapi, di era komputasi awan saat ini, bagaimana rasanya kita bisa hidup di dunia konvensional tanpa teknologi digital?

Mari simak pengalaman Paul Miller dari The Verge yang menjalani satu tahun penuh tanpa teknologi digital. Memasuki Mei 2012, ia memutuskan koneksi internetnya dan mengganti ponsel cerdas dengan ponsel konvensional.

Apa yang ia rasakan dalam setahun tanpa internet itu?

Hidupnya merdeka tanpa internet. Tak lagi merasa dikejar-kejar oleh unread mails, tak pernah merasa tenggelam dalam banjir informasi. Tentunya, tak lagi terganggu oleh notifikasi-notifikasi dari ponsel cerdasnya.

Ia jadi lebih fokus. Lebih produktif.

Kemampuan membaca yang lebih baik. Jika sebelumnya membaca 10 halaman buku saja sangat sulit, maka kini ia dapat membaca buku 100 halaman dengan lebih baik.

Namun, tentunya hidup tanpa internet juga berarti hidup tanpa kemudahan. Jika ia sebelumnya bisa melihat peta dari ponsel plus bantuan GPS. Kini, ia harus berhadapan dengan peta sesungguhnya, yang tentunya perlu keahlian lebih untuk membacanya.

Nah, Paul juga mendapatkan pengalaman "baru" saat memesan tiket pesawat. Jika biasanya dilakukan dengan gampang melalui internet plus bisa membandingkan beberapa harga tiket, kini ia melakukan via telepon dan menerima begitu saja tiket yang dipilihkan petugas sesuai rute dan jadwal yang diinginkan. Ya, kadang terlalu banyak pilihan juga akan membuat kita bingung. Kita akan berpikir lebih keras untuk memilih yang terbaik. Namun jika harga tiket hanya berselisih sedikit, untuk apa buang-buang waktu dan pikiran?

Tanpa internet juga bisa membuang banyak kepraktisan. Jika biasanya bekerja dengan email bisa melalui ponsel, kapan saja dan di mana saja, tidak halnya dengan surat pos. Dengan memiliki kotak pos (P.O. box), ia harus meluangkan waktu dan tenaga untuk mengambil surat-surat. Begitu juga saat membalas satu demi satu surat-surat itu. Untuk hal ini, memang internet banyak memberikan kontribusi dalam peningkatan produktivitas.

Tapi, dengan gaya hidup tradisional, Paul lebih banyak bergerak. Tak heran kalau ia kehilangan beberapa pon berat badan. Lebih sehat? Sepertinya.

Kekuatan internet adalah soal kecepatan dalam penyampaian informasi. Internet membuat kita lebih produktif karena mengurangi "waktu tunggu" dalam menerima informasi. Lebih banyak hal yang bisa dilakukan di era internet. Pun standar kecepatan kita berubah.

Dulu, membaca koran setiap pagi sudah cukup untuk aktualisasi informasi. Di era televisi, berita diaktualkan dua hingga tiga kali sehari. Era digital? Hitungan detik.

Maka wajar jika ada fenomena seperti FoMO. Rasanya tak tenang jika dalam beberapa jam tidak melihat berita. Apalagi jejaring sosial, bisa-bisa tiap beberapa menit kita memeriksanya.

FoMO ini pun merasuki kehidupan sosial. Tanpa internet, Paul tak lagi dikejar-kejar FoMO. Teman-teman dan keluarganya lebih bahagia ketika berbicara dengannya karena Paul memberikan perhatian penuh pada lawan bicaranya. Tak lagi sibuk memeriksa ponsel setiap beberapa menit sekali. Fokus penuh.

Namun, tanpa internet, sosialisasi juga sedikit terhambat. Terutama masalah geografis. Untuk yang di luar kota, alternatif yang tersisa tinggal telepon dan surat pos. Untuk yang di dalam kota pun tak lagi praktis, harus mampir ke rumah ataupun bertemu di kedai kopi.

Saya juga pernah melakukan focus group discussion di kantor bersama para freshmen terkait gaya hidup digital. Yang paling menarik adalah soal kegiatan mereka di akhir pekan: hangout bersama teman-teman di kafe, tapi bukannya heboh bergosip atau bercerita, melainkan malah sibuk dengan gadget masing-masing.

Nah, dari sini bisa dilihat. Pemuda-pemudi ini tidak bisa lepas dari gadget-nya. Wajar jika ternyata pekerjaannya banyak melibatkan teknologi, begitu juga gaya hidupnya. Tapi, ketika berkumpul secara fisik, saling berbicara satu sama lain, bahkan bercanda-tawa, namun hanya melibatkan bibir dan telinga, sementara mata tetap fokus di layar gadget masing-masing. Ada yang salah?

Memang internet seperti halnya teknologi lain, bagai pisau bermata dua. Ada manfaatnya, tapi bisa pula menjadi candu dan racun. Penetrasi internet dalam kehidupan sehari-hari pun harus seimbang. Agar tetap memberikan manfaat dan produktivitas, tapi tidak mengganggu kehidupan sosial dan menjadi kecanduan. Bagaimana dengan Anda?